MARASAI.iD – Penangkapan 11 warga oleh Polda Maluku Utara yang mempertahankan lahan kebun mereka dari aktivitas perusahaan tambang PT. Position menuai sorotan tajam.
Keluarga para tahanan mengungkapkan berbagai kejanggalan dalam proses hukum yang tengah berjalan, dan meminta para hakim yang menangani sidang praperadilan untuk bersikap adil.
“Kami ini hanya petani yang mempertahankan tanah kami, bukan kriminal,” ujar salah satu anggota keluarga korban yang meminta identitasnya tidak dipublikasikan.
Menurut keterangan yang disampaikan kepada wartawan, keluarga pertama kali menerima surat dari Polda pada 18 April 2025. Surat bertajuk “Undangan Klarifikasi” tersebut disampaikan melalui salah satu warga Maba Sangaji bernama Yusri Ibrahim.
Namun kejanggalan mulai muncul ketika pada 31 Mei 2025, keluarga dari empat warga yang kini ditahan – Nahrawi, Alaudin, Yasir, dan Sahrudin – menerima surat pemberitahuan penangkapan dan penahanan. Anehnya, surat itu tertanggal 19 Mei, namun baru disampaikan hampir dua minggu setelahnya, melalui Kepala Desa Maba Sangaji, Kasman Mahmud.
Tak berhenti di situ, pada 12 Juni, keluarga kembali menerima lima surat dari Polda yang disampaikan secara tidak biasa – dibawa oleh anak-anak siswa SMP dan SMA. Surat tersebut merupakan pemberitahuan perpanjangan masa penahanan para tersangka.
Hari ini, Jumat (13/6/2025), keluarga dari dua warga lainnya, Salasa Muhamad dan Umar Manado, menerima surat serupa dari Kepala Desa Kasman Mahmud. Surat itu juga bertanggal 19 Mei, namun baru diterima oleh pihak keluarga hampir sebulan kemudian.
“Kami bingung, bagaimana mungkin surat penting dari kepolisian bisa disampaikan oleh anak-anak sekolah, atau datang terlambat berminggu-minggu? Ini proses yang tidak masuk akal,” tegas perwakilan keluarga tersebut.
Dalam perkara ini, 11 orang warga dituduh membawa senjata tajam saat mendatangi lokasi tambang. Namun keluarga membantah tuduhan itu, dan menyebut bahwa para petani memang terbiasa membawa parang untuk keperluan berkebun dan melintasi hutan.
“Mereka itu jalan kaki jauh melewati hutan. Parang itu bukan senjata, itu alat kerja kami, alat bertani,” terang keluarga korban.
Keluarga besar para tahanan berharap para hakim yang menangani praperadilan dapat melihat persoalan ini secara adil, mengingat para terdakwa adalah warga biasa yang mempertahankan tanah warisan mereka dari ekspansi pertambangan yang dinilai merugikan masyarakat setempat.
“Kami tidak ingin melawan hukum. Tapi kami juga tidak ingin keadilan dihilangkan hanya karena kami ini orang kecil,” tutup pernyataan keluarga tersebut.







