MARASAI.iD – Pagi itu, Senin (13/1/2025) aula Nuku di kantor Gubernur Maluku Utara yang biasanya sepi dipenuhi oleh para peserta yang telah dinyatakan lolos seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Seragam hitam putih yang mereka kenakan terlihat rapi, mencerminkan kebanggaan dan harapan. Dengan langkah perlahan, mereka mengambil tempat duduk, bersila di atas lantai aula. Sebagian berbicara lirih, saling berbagi senyuman penuh arti.
Sebagian lagi duduk dalam diam, seakan ingin menyerap suasana di ruangan itu—ruangan yang menjadi saksi bagi perjalanan panjang yang akhirnya berujung di sini.

Di depan ruangan, Penjabat Sekretaris Daerah (Pj Sekda), Abubakar Abdullah ditemani Alex Tofano Rada, Kepala Bidang Pengadaan ASN dan Penataan Jabatan Fungsional BKD, serta Ruslan, Kepala Bidang Guru dan Tenaga Kependidikan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, ia tampak siap memberikan arahan.
Saat Abubakar mulai berbicara, suara gaduh kecil di ruangan itu perlahan menghilang, berganti dengan keheningan penuh perhatian.
“Saya menyampaikan selamat kepada bapak, ibu, dan saudara sekalian. Sebentar lagi kalian akan resmi memiliki NIP sebagai bukti keabsahan sebagai ASN,” ucap Abubakar dengan suara yang dalam tetapi ramah.
Kalimat itu seakan menjadi pengesahan dari segala mimpi dan doa yang telah mereka panjatkan. Di tengah kerumunan, seorang wanita paruh baya bernama Susi seorang guru honorer dari pelosok Kabupaten Halmahera Timur, menundukkan kepala sejenak.
Bibirnya bergerak lirih, mungkin berdoa, mungkin berterima kasih. Ketika ditemui setelah acara, ia berbagi kisah yang panjang dan penuh perjuangan.
“Saya datang ke Wasile hampir 15 tahun lalu. Awalnya hanya ingin mencoba peruntungan sebagai guru honorer. Gajinya kecil, sangat kecil. Tapi ada sesuatu yang lebih besar dari itu—panggilan hati untuk mengabdi,” katanya, suaranya pelan tetapi penuh keyakinan.
Ibu Susi bercerita tentang masa-masa sulit. Ia harus bertahan dengan gaji yang tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari, apalagi untuk keluarga. Namun, ia tidak menyerah. Setiap pagi, ia bangun lebih awal, berjalan kaki ke sekolah di desa terpencil, dan mengajar dengan semangat.
“Saya percaya, anak-anak di desa juga berhak mendapatkan pendidikan yang baik. Kalau bukan saya, siapa lagi yang akan mengajar mereka?” lanjutnya sambil tersenyum kecil, meski mata berkaca-kaca.
Kini, setelah bertahun-tahun mengabdi tanpa status yang jelas, Ibu Susi akhirnya merasa perjuangannya dihargai. Lolos sebagai PPPK memberinya rasa aman, bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga secara mental.
“Alhamdulillah, ini adalah jawaban dari doa-doa saya. Saya sangat bersyukur kepada pemerintah yang akhirnya memberi ruang bagi kami, para honorer, untuk mendapatkan pengakuan,” ucapnya dengan suara bergetar.

Di panggung, Abubakar melanjutkan pidatonya, berbicara tentang tanggung jawab yang kini melekat pada status mereka sebagai ASN.
“Kedisiplinan adalah kunci. Ini bukan hanya soal datang tepat waktu, tetapi juga tentang komitmen dan patuh pada peraturan. Sebagai ASN, kita harus profesional, inovatif, dan memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat,” tegasnya, menatap langsung ke arah para peserta.
Di setiap sudut aula, peserta mengangguk. Ada yang mencatat, ada yang hanya mendengarkan, tetapi semuanya menyimak dengan serius. Kata-kata itu adalah nasihat sekaligus pengingat bahwa perjalanan mereka sebagai ASN baru saja dimulai.
Ketika acara selesai, suasana berubah menjadi penuh haru. Peserta saling berjabat tangan, beberapa berpelukan, dan tidak sedikit yang menangis. Di antara mereka, Susi berdiri di sudut aula, memandang ke sekeliling. Ia tidak lagi merasa asing di ruangan itu. Hari ini, ia bukan hanya seorang guru honorer lagi. Hari ini, ia resmi menjadi bagian dari sistem yang lebih besar—sebuah sistem yang, meski penuh tantangan, kini memberinya pengakuan dan harapan.
Di luar aula, matahari mulai memancar lebih terang. Seolah mengiringi langkah-langkah mereka yang baru saja keluar dari aula Nuku. Bagi Susi dan peserta lainnya, hari itu bukan sekadar sebuah acara seremonial.
Hari itu adalah titik awal dari babak baru dalam hidup mereka, sebuah babak yang membawa lebih banyak tanggung jawab tetapi juga lebih banyak peluang untuk melayani.
“Perjuangan saya belum selesai,” ujarnya sebelum melangkah keluar. “Tapi setidaknya sekarang, saya melangkah dengan lebih pasti.”







