Bupati Halmahera Utara, Frans Maneri seperti baru saja terbangun dari tidur nyamannya yang dininabobokon oleh industri tambang, namun dia harus bangun dan menghadapi kenyataan bahwa masa kemesraan dengan tambang telah usai dan masyarakat Halmahera Utara diperhadapkan dengan kenyataan keterpurukan ekonomi akibat tambang yang tak lagi beroperasi.
Menghadapi kenyataan ini diakhir masa kepemimpinan, Frans baru tersadar dan berupaya memperbaiki keadaan.
Frans Maneri adalah mantan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memilih jalur politik setelah mendampingi Hein Namotemo membangun Halmahera Utara.
Sebagai penyuluh pertanian sejak era Orde Baru, ia memiliki pengalaman dalam mengurus sektor perkebunan, khususnya kelapa. Namun, ia kemudian beralih ke dunia politik bersama Partai Golkar untuk memperjuangkan suara rakyat Halmahera Utara di DPRD Provinsi Maluku Utara.
Sebagai warga Malifut, Halmahera Utara, saya tidak memiliki kekaguman yang berarti terhadap sosok Frans Manere, yang pernah menjabat sebagai bupati selama dua periode.
Tidak ada rekam jejak yang benar-benar membanggakan, bahkan beberapa kebijakannya nyaris menimbulkan kontroversi. Namun, di akhir masa jabatannya, Frans mengambil langkah yang patut dicatat: ia menerbitkan surat edaran bupati yang menegaskan bahwa Halmahera Utara akan berfokus pada industri kelapa setelah mengalami keterpurukan akibat tambang emas Gosowong yang berhenti berproduksi.
Dampak ekonomi dari kejatuhan sektor tambang ini begitu besar, menyebabkan Halmahera Utara mencatatkan angka pertumbuhan ekonomi terendah di Maluku Utara.
Kesadaran Frans Manere di penghujung kepemimpinannya memberikan pelajaran penting bagi para kepala daerah, baik yang sedang menjabat maupun yang akan dilantik. Ia menyadari bahwa menggantungkan ekonomi daerah pada industri tambang adalah seperti memenjarakan diri dalam kemewahan semu—mewah di permukaan, tetapi miskin dalam kenyataan.
Ketergantungan pada sektor tambang menjadikan daerah rentan terhadap ancaman kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan ketidakstabilan sosial akibat eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan.
Tambang emas Gosowong adalah contoh nyata bagaimana sektor ini dapat membawa keterpurukan ekonomi, bukan hanya bagi masyarakat yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK), tetapi juga bagi pemerintah daerah yang akhirnya terjebak dalam defisit anggaran dan utang pihak ketiga yang membengkak. Ini menjadi catatan kelam dalam perjalanan panjang industri tambang di Halmahera Utara.
Namun, langkah Frans Manere menerbitkan kebijakan hilirisasi kelapa di akhir masa jabatannya patut diapresiasi. Kebijakan ini memberikan perlindungan bagi petani kelapa serta bertujuan membangun ekonomi daerah yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Halmahera Utara sendiri merupakan daerah dengan populasi kelapa terbesar di Maluku Utara, diikuti oleh Halmahera Barat dan Halmahera Selatan. Di Halmahera Utara, wilayah Galela menjadi sentra utama perkebunan kelapa.
Pada penghujung tahun 2019, harga kopra anjlok drastis hingga Rp2.500 per kilogram, membuat para petani nyaris merasakan Natal dalam kesedihan. Saat itu, saya bersama Dr. Rahmat Sabuhari ikut memprovokasi petani untuk turun ke jalan menuntut perlindungan.
Aksi ini memicu kemarahan Frans Manere dan Muhlis Tapi Tapi. Namun, kini saya merasa perlu memberikan penghormatan dan terima kasih kepada Frans atas kebijakan hilirisasi kelapa yang ia gagas.
Langkah ini seharusnya menjadi contoh bagi para pemimpin di Maluku Utara—baik gubernur, bupati, maupun wali kota—untuk membangun ekosistem ekonomi yang lebih inklusif dan tidak lagi bergantung sepenuhnya pada sektor tambang. Semoga kebijakan ini dapat menjadi fondasi bagi masa depan ekonomi Halmahera Utara yang lebih mandiri dan bermartabat.







