Syarat Makna, Tradisi Maulid ala Suku Bugis di Halmahera

- Jurnalis

Selasa, 3 Oktober 2023 - 01:55 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Suasana peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan tradisi Suku Bugis di Masjid Al-Muhajirin di Desa Galala.

Suasana peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan tradisi Suku Bugis di Masjid Al-Muhajirin di Desa Galala.

SOFIFI, – Jauh merantau meninggalkan tanah asal tak membuat Suku Bugis juga meninggalkan tradisi dan adat yang mereka anut, salah satunya tradisi saat memperingati maulid Nabi Muhammed SAW, yang dikenal juga  dengan ma maulu atau maudu.

Hal ini terlihat dari komunitas masyarakat Bugis yang bermukim di daratan Pulau Halmahera, tepatnya di Masjid Al-Muhajiri Desa Galala Kecamatan Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan, Sabtu (30/9/2023).

Rusdi Arfah selaku Ketua BTM Masjid Al-Muhajirin menyebutkan, kegiatan ini juga dihadiri oleh DR. Syahrir Ibnu sebagai pemberi tausiah.

DR. Syahrir Ibnu saat memberikan tausiah pada kegiatan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Rusdi menyebutkan, masyarakat Suku Bugis  memiliki tradisi peringatan maulid yang unik. Peringatan maulid di Bugis lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan istilah Ma Maulu. Seperti halnya Maudu lompoa di cikoang Takalar. Pattene di Maros.

“Acara ma maulu’ atau maudu ini pada umumnya sama dengan peringatan maulid Nabi saw. yang lain. Biasanya acara ma maulu’ akan diisi dengan ceramah agama mengenai sirah hidup Nabi saw. serta uswah-uswah hasanah yang sekiranya dapat dipetik dan diambil hikmahnya, ” ungkap Rusdi.

Menurutnya, yang menjadikan ma maulu’ beda dari tradisi yang lain adalah adanya male dan hiasan telur rebus warna warni yang ditusukkan atau digantungkan pada bilah bambu yang kemudian ditancapkan pada batang pohon pisang.

“Biasanya batang pohon pisang yang telah ditancapkan telur-telur akan diberi wadah di bawahnya berupa ember kecil yang berisikan songkolo yakni beras ketan yang telah dimasak. Pada akhir acara, telur dan sokko/songkolo tersebut akan diberikan kepada tamu-tamu yang diundang dan selebihnya akan dibagikan kepada jamaah yang hadir, terkadang juga dijadikan momentum oleh anak-anak untuk berebut mendapat kan telur yang diyakini ada berkah/barakka,” jelasnya.

Rusdi bilang, dengan adanya telur, batang pohon pisang, dan sokko/songkolo pada acara ma maulu/maudu tersebut merupakan hasil akulturasi budaya masyarakat bugis makassar dengan ajaran Islam.

Male ini biasanya disiapkan oleh masyarakat dan dibawa ke tempat acara perayaan, masing-masing orang yang mampu biasanya menyiapkan dua buah atau lebih bakul/ember male, dimana satu bakul/ember untuk dibawa pulang, dan yang lainnya untuk dibagikan kepada hadirin terutama bagi mereka yang tidak mampu, masyakat biasanya membawa bakul ember lebih dari satu, sebagai adat kebiasaaan menukarkan kepada ember yang lain sebagai wujud saling memberi dan mengasihi, dan kelebihannya di sedekahkan buat para tamu undangan.

“Male disiapkan di bakul-bakul atau sekarang ini ember yang dihiasi kertas minyak dan kertas krep warna-warni atau kalau pembuat male orang yang mampu, mereka membungkusnya dengan kain batik atau sarung batik.Bakul atau ember male ini berisi nasi ketan, Orang Makassar menyebutnya ka’do’ minnya’ atau songkolo, dan Orang Bugis menyebutnya sokko’, di atas nasi ketan ini diltaruh sepotong paha atau dada ayam goreng, biji cengkeh, irisan buah pala, irisan jeroan ayam yang digoreng, serta telur dadar yang diiris tipis selebar tali rapiah sebagai pelengkap dan pemanis male. Male kemudian dibungkus dengan daun pisang. Sebagai pelengkap tambahan ada pula telur male yang telah direbus, diberi warna memakai kesumba kuning, merah, dan hijau, telur kemudian ditusuk atau diletakkan pada ujung batang bambu yang dihias dengan kertas dengan berbagai bentuk dan warna yang dibuat menarik. Batang bambu yang berisi telur male ini lalu ditancapkan mengelilingi tepi bakul, kadang hingga 10 tusuk dalam satu bakul. Telur male juga ditancapkan pada batang pisang dan dihias sehingga nampak seperti kembang warna-warni,” jelasnya.

Baca Juga :  Lomba Busana Nusantara Meriahkan Peringatan Hari Sumpah Pemuda di Tidore

Pada bagian tengah bakul male atau induk male dibuatkan semacam wadah es cream raksasa, isinya kadang uang, makanan ringan, permen, kacang goreng tanpa kulit atau orang Makassar menyebutnya langkoseng. Setelah semua acara ritual Maulid selesai sampailah dipuncak acara, yakni berbagi berkah Maulid yaitu membagi-bagikan bakul/ember male kepada para hadirin, dan salah satu yang biasanya menjadi warna dari kemeriahan perayaan Maulid Nabi ini adalah rebutan male oleh anak-anak kecil.

Pernak-pernik male seperti telur, batang pohon pisang, dan nasi ketan atau songkolo/sokko pada acara Maulid yang oleh orang BugisMakassar menyebutnya Maulu’/Maudu’ tersebut merupakan hasil akulturasi budaya masyarakat Bugis Makassar dengan ajaran Islam.

“Pernak-pernik tersebut dipercaya sebagai simbol yang mengandung falsafah hidup dan nilai-nilai keislaman. Telur dimaknai sebagai simbol kehidupan, bentuknya yang bulat melambangkan dunia tempat kita tinggal, ” ungkapnya.

Selain itu, menurut Rusdi telur juga dimaknai sebagai awal kehidupan yang bersih dan masih suci, sebagaimana manusia yang terlahir dalam keadaan suci. Demikian pula telur yang memiliki 3 unsur yaitu kulit telur, putih telur, dan kuning telur dimaknai sebagai 3 pilar utama dalam Islam yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Ketiga pilar tersebut tidak dapat dipisahkan dari diri seorang muslim.

Telur yang ditancapkan pada bilah bambu bermakna bahwa Iman, Islam, dan Ihsan haruslah ditegakkan sebagaimana pohon bambu yang tumbuh tegak, lurus dan kokoh.

Baca Juga :  Direktur Pembangunan Indonesia Timur Bappenas Kunjungi Tidore, Bahas Pembangunan Kawasan Ibu Kota Sofifi

“Sebagaimana Rasulullah saw. yang selalu memberikan manfaat kepada seluruh manusia bahkan hingga saat ini manfaatnya masih bisa kita rasakan. Dengan ini diharapkan bagi kita untuk senantiasa mengingat dan mencontoh baginda Nabi SAW. yaitu senantiasa berusaha menjadi insan yang bermanfaat bagi orang lain. Nabi SAW bersabda “Sebaik-baik manusia ialah yang paling banyak memberikan manfaat”.

“Selain itu, filosofi pohon pisang yaitu ia tidak akan mati sebelum memunculkan tunasnya yang baru. Dari hal ini kita belajar untuk mempersiapkan generasi yang akan nantinya akan bermanfaat bagi masyarakat, agama, bangsa dan negara,” kata Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Ternate ini.

Adapun songkolo/sokko’ merupakan simbol ukhuwah yang kuat dan kokoh. Sebagaimana sifat ketan yang akan tetap merekat dan bersatu walaupun dihempaskan. Begitulah sekiranya yang kita upayakan dalam kehidupan bermasyarakat. Kita harus menjaga ukhuwah, persatuan, dan sifat gotong royong antar sesama.

Simbolisasi telur, batang bambu, batang pisang serta nasi ketan atau songkolo/sokko’ merupakan pesan-pesan simbolik tentang nilai-nilai kehidupan yang ingin disampaikan kepada seluruh ummat Islam agar selalu diingat, diterapkan dan dijaga dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW.

“Kita berharap agar kedepannya kita semua semakin cinta kepada Nabi dan ajarannya serta dapat mencontoh beliau dalam kehidupan sehari-hari agar menjadi rahmat bagi sekeliling kita,” harapnya.

Selain itu, juga adanya pembacaan Barzanji yang merupakan kumpulan puji-pujian berupa syair atau sajak yang menceritakan biografi Nabi MuhammadMuhammad.

“Pembacaan barzanji dianggap sebagai ade’ yaitu tradisi yang turun-temurun dari tomatoa riolota (orang dulu) ketika Islam pertama kali datang ke Sulawesi Selatan. Istilah ade’ disini menunjukkan bahwa ma’barzanji (pembacaan barzanji) memiliki dimensi bukan lagi sekedar ajaran yang secara hukum Islam (Fiqh) disebut sunnah, tetapi bagi masyarakat Bugis dan Makassar adalah tradisi yang “sakral” ketika seseorang meninggalkan praktik tersebut maka dianggap melanggar ade’” jelasnya.

Referensi lain menyebutkan masyarakat Bugis dan Makassar seakan-akan menjadikan tradisi ma’barzanji sesuatu yang ”wajib” dalam beberapa momenmomen yang disebutkan di atas, seperti naik haji, aqiqah, naik rumah baru atau pindah rumah, nikahan dan sebagainya.

“Wajib disini dimaknai dengan sesuatu yang oleh masyarakat dianggap sebagai sakral dan bukan karena teks barzanji itu berisi puji-pujian kepada Nabi,” jelasnya.

Rusdi berharap tradisi yang baik ini sementara dipertahankan hingga kapanpun, karena memiliki manfaat yang banyak bagi masyarakat Suku Bugis dan masyarakat yang ada disekitarnya.

 

Berita Terkait

Lomba Busana Nusantara Meriahkan Peringatan Hari Sumpah Pemuda di Tidore
Direktur Pembangunan Indonesia Timur Bappenas Kunjungi Tidore, Bahas Pembangunan Kawasan Ibu Kota Sofifi
TP-PKK Kepulauan Sula Sabet Juara Satu Tarian Kreasi di HKG PKK ke-53 Maluku Utara
Semarakkan Kebudayaan, Kesultanan Ternate Hadirkan Legu Tara No Ate
KABATA, Perhelatan Syair dari Tidore
Berita ini 970 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 29 Oktober 2025 - 09:38 WIB

Lomba Busana Nusantara Meriahkan Peringatan Hari Sumpah Pemuda di Tidore

Jumat, 24 Oktober 2025 - 11:15 WIB

Direktur Pembangunan Indonesia Timur Bappenas Kunjungi Tidore, Bahas Pembangunan Kawasan Ibu Kota Sofifi

Rabu, 15 Oktober 2025 - 06:59 WIB

TP-PKK Kepulauan Sula Sabet Juara Satu Tarian Kreasi di HKG PKK ke-53 Maluku Utara

Sabtu, 30 Desember 2023 - 21:28 WIB

Semarakkan Kebudayaan, Kesultanan Ternate Hadirkan Legu Tara No Ate

Selasa, 3 Oktober 2023 - 01:55 WIB

Syarat Makna, Tradisi Maulid ala Suku Bugis di Halmahera

Senin, 13 Maret 2023 - 19:04 WIB

KABATA, Perhelatan Syair dari Tidore

Berita Terbaru