Matinya Kepakaran, Saat Opini Mengalahkan Ilmu

- Jurnalis

Rabu, 9 Juli 2025 - 16:36 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Saat covid-19 melanda beberapa tahun lalu, kita dipertontonkan dengan pernyataan seorang pejabat negara yang dengan gampang mengatakan bahwa corona virus tak akan menyerang Indoensia, alasanya karena kita negara tropis sehingga virus tersebut tidak cocok di sini.

Entah wangsit dari mana yang membuat si pejabat berbicara begitu, namun pernyataan itu menunjukkan bahawa perilaku kita memang serendah itu untuk sekadar meminta penjelasan kepada mereka yang pakar dalam bidangnya sebelum menghidangkan pernyataan di ruang publik.

Namun, ruang publik saat ini selalu dipenuhi dari segala pernyataan yang jarang disaring lebih dulu sebelum di-sharing.

Di era informasi yang begitu terbuka, anehnya kita justru hidup di masa ketika keahlian dan pengetahuan yang mendalam mulai dipertanyakan, bahkan ditolak.

Buku Matinya Kepakaran karya Tom Nichols mengangkat sebuah kegelisahan intelektual yang sangat relevan hari ini: mengapa masyarakat modern, yang seharusnya semakin cerdas, justru semakin enggan mendengarkan para ahli?

Tom Nichols, seorang profesor di U.S. Naval War Colleged an Harvard Extension School, menyodorkan argumen bahwa masyarakat kini tengah mengalami krisis kepercayaan terhadap otoritas keilmuan.

Munculnya internet dan media sosial memang membawa demokratisasi informasi—setiap orang kini bisa mengakses data, berita, atau opini kapan saja.

Baca Juga :  Yang Tidak Ditulis Ghalim pada Buku Jurnalisme yang Tergadai

Namun di saat yang sama, demokratisasi ini berubah menjadi bumerang: semua orang merasa cukup tahu, merasa setara dengan para ahli, bahkan dalam hal-hal yang sebenarnya sangat teknis dan kompleks.

Lebih dari itu, Nichols menyoroti fenomena yang tampaknya sangat umum di kehidupan sehari-hari: orang lebih percaya pada hasil pencarian Google lima menit daripada nasihat seorang dokter yang belajar bertahun-tahun.

Dalam dunia medis, ini bisa berarti penolakan terhadap vaksin; dalam politik, ini berarti kepercayaan membabi buta terhadap teori konspirasi.

Namun, buku ini bukan sekadar keluhan tentang masyarakat “bodoh” atau sentimen elitis. Nichols dengan tegas menyatakan bahwa kepakaran bukan berarti seseorang tak bisa salah. Para ahli juga manusia.

Tapi bedanya, mereka salah dalam konteks kerangka ilmiah yang terus diperbaiki dan diverifikasi. Sementara masyarakat awam kerap salah karena percaya pada prasangka dan informasi dangkal yang tidak teruji.

Yang juga menjadi sorotan tajam dalam buku ini adalah sistem pendidikan yang berubah orientasi. Perguruan tinggi kini cenderung memperlakukan mahasiswa sebagai “pelanggan” daripada pelajar.

Akibatnya, nilai-nilai disiplin, respek terhadap pengetahuan, dan otoritas akademik perlahan-lahan luntur. Mahasiswa tidak lagi datang untuk belajar dari dosen, tapi untuk “membeli” gelar.

Baca Juga :  Yang Tidak Ditulis Ghalim pada Buku Jurnalisme yang Tergadai

Di tengah semua itu, demokrasi menjadi rentan. Ketika setiap orang merasa paling benar dan menganggap semua pendapat setara, bagaimana mungkin kita bisa mengambil kebijakan publik yang berbasis pada data dan rasionalitas? Demokrasi memang memberi ruang pada semua suara, tapi tidak semua suara berasal dari dasar keahlian.

Nichols menekankan bahwa demokrasi hanya bisa berjalan sehat jika masyarakat menghargai para pakar yang bertugas menuntun arah dengan ilmu, bukan dengan insting liar.

Pada akhirnya, Matinya Kepakaran adalah ajakan untuk merendah: untuk mengakui bahwa kita tidak tahu segalanya, bahwa belajar adalah proses panjang, dan bahwa mendengarkan orang yang memang ahli adalah bagian dari kebijaksanaan.

Buku ini bukan nostalgia atas masa lalu yang penuh hormat pada intelektual, tapi peringatan bahwa masa depan bisa suram jika kepakaran terus-menerus dibunuh oleh keangkuhan informasi setengah matang.

Dalam dunia yang penuh dengan opini dan informasi instan, Matinya Kepakaran mengingatkan kita bahwa kebenaran tidak bisa diraih hanya dengan merasa yakin—kebenaran butuh bukti, logika, dan tentu saja, ilmu.

Berita Terkait

Yang Tidak Ditulis Ghalim pada Buku Jurnalisme yang Tergadai
Berita ini 177 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 9 Juli 2025 - 16:36 WIB

Matinya Kepakaran, Saat Opini Mengalahkan Ilmu

Senin, 13 Maret 2023 - 19:18 WIB

Yang Tidak Ditulis Ghalim pada Buku Jurnalisme yang Tergadai

Berita Terbaru